ANAK PENDETA

Baru – baru ini, baru kemarin ini saya mendapatkan sesuatu yang menggelitik pemikiran saya. Ceritanya begini. Pagi hari itu, saya online dengan Yahoo Messenger saya (sambil bermain travian tentunya...^-^') Tiba – tiba ada seorang yang PM di YM saya. Setelah berbasa – basi sejenak, maka mulailah kita berbicara sedikit serius. Maksud saya serius itu adalah mulai mengenalkan diri kita lebih mendalam. Siapa saya, status single ato merrid, anak berapa, kerja di mana, sekolah di mana, dan sekitar hal-hal pribadi lah.

Sebut saja si Acoy untuk lebih menghidupkan tulisan ini. Dia memperkenalkan dirinya sebagai anak seorang pendeta. Dia merencanakan untuk mengambil sekolah ke-pendeta-an di SOB (saya lupa kepanjangannya). Kemudian kita berbicara mengenai manajemen gereja, iman dan pekerjaan, politik dan kepercayaan. Ternyata, pandangan Acoy dan saya mengenai topik – topik yang kita bicarakan (hampir) sama. Dari pembicaraan itu, saya menilai bahwa Acoy adalah orang yang luar biasa, memiliki pandangan yang seimbang antara iman dan kehidupan. Saya memuji dia dengan mengatakan bahwa dia adalaah orang yang langkah. Termasuk grup 1000-1.

Acoy bertanya apa maksud 1000-1. Saya ngomong sejujurnya kalau biasanya anak pendeta tuh nakal – nakal. Dari 1000 anak pendeta, hanya 1 anak yang hidupnya menjadi teladan.

Acoy tertawa (di YM) dan mengatakan bahwa dia dulunya pengguna “barang haram” dan 10 tahun tidak ke gereja....

HAAH ?
Tentunya ada satu hal yang anda ingin tanyakan kepada saya. Atas dasar apa Pak Wapannuri mengeluarkan pernyataan bahwa...anak pendeta itu nakal-nakal...?

Jawaban saya atas pertanyaan di atas adalah atas dasar kehidupan saya saja. Saya mempunyai beberapa teman yang bapaknya pendeta, juga sedikit teman yang orangtuanya melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh. Paling banyak teman saya yang orangtuanya beragama (kita orang kristen menyebut mereka dengan KRISTEN KTP).

Pernyataan saya di atas memang berkesan generalisasi....bahwa semua anak pendeta pasti nakal-nakal...namun saya bisa menjelaskan bahwa tulisan di atas mempunyai ruang lingkup kehidupan saya selama ini, pergaulan saya selama ini, pengalaman saya selama ini. Anda bisa membantah pernyataan saya juga bisa menerima pernyataan saya. Saya tidak akan membantah karena pernyataan yang saya sampaikan adalah pernyataan subyektif.

Definisi nakal itu luas dan bersifat subyektif pula, namun saya yakin anda dan saya sepakat bahwa yang namanya anak-anak itu pasti nakal. Menurut saya, nakal adalah sesuatu yang wajar, bahkan saya yang berkepala tiga ini saja kadang nakal dengan orang lain...Namun kenakalan saya bisa diterima oleh orang yang saya nakali. Mengapa ? Karena masih dalam tahap yang bisa diterima. Mereka yang saya usili menjadi tertawa dan bahagia. Namun keusilan saya yang sama jika diterapkan kepada teman saya yang lain membawa akibat yang berbeda. Si Ling – Ling yang saya nakali dengan cara yang sama dengan si Bondet, marah besar dan tersinggung. Mengapa yaa ? Karena tingkat toleransi Bondet dengan Ling – Ling berbeda.

Saya rasa, kita sebagai manusia mempunyai harapan mengenai segala hal, hanya saja ada harapan yang kita sampaikan dan ada beberapa harapan yang kita simpan. Saya  mengatakan bahwa harapan ini adalah standar atau nilai – nilai yang kita berikan kepada sesuatu itu. Sesuatu itu dapat berupa benda mati atau dapat berupa manusia.

Ada yang punya temen kaya gaaak ? Kalau anda diajak Clubbing ama temen anda yang borju itu apa pemikiran anda ? Bayar dewe – dewe atau dibayari ?

Ada yang punya temen kere gak ? Kalau anda diajak makan ama temen anda yang kere itu apa pemikiran anda ? Bayar dewe – dewe atau mbayari ?

Ada yang punya temen anak pendeta gak ? Kalau anda punya temen kayak gitu apa bayangan anda tentang dia ? Alim atau tidak alim ?

MENGAPA ?
Saya ingin menyumbangkan pendapat saya mengenai kenakalan anak pendeta itu. Meskipun tidak semua anak pendeta itu nakal. Nakal itu pasti namun pertobatan juga pasti ! Semua orang pasti pernah nakal dan ketika kita berbalik dari jalan kenakalan itu maka kita pasti dua kali bahkan 100 kali lebih baik dari dulunya. Saya percaya hal itu namun saya juga percaya bahwa anak nakal yang bertobat namun kembali ke jalannya yang dulu (nakal maksudnya) maka dia akan 1000 kali lebih nakal dari dulunya.

STANDAR YANG BERBEDA
Yang sudah menjadi orang tua pasti tau pemikiran ini, “yang terbaik untuk anak saya!” Sekolah yang terbaik, makanan yang terbaik, kasih sayang yang terbaik, dan semuanya harus paling TOP. Tujuannya cuman satu, supaya hidup anaknya lebih baik daripada bapak-ibunya.

Tidak ada yang salah dengan kata terbaik ini. Yang ada cuman salah persepsi saja. Terbaik menurut siapa ? Menurut saya sebagai orang tua atau menurut anak kita. Sebagai orang tua yang banyak makan garam kita ingin supaya mereka tidak mengulangi kesalahan – kesalahan yang pernah kita lakukan. Kita tidak ingin mereka untuk berjalan di tempat yang salah. Semua orang tua pasti berpikiran seperti ini, bedanya di standar orang tua biasa dengan orang tua luar biasa. Mereka yang mempunyai status terpandang di masyarakat cenderung menjaga hal ini, karena merupakan kehormatan atau nama baik dirinya (biasanya digunakan kata “keluarga”)

Saya juga pernah menjadi seorang anak loh...Dan tolong dimaklumi, yang namanya anak itu sukanya sesuatu yang baru, yang menantang, yang memberikan sensasi. Intinya, semakin dilarang semakin ingin mencoba, semakin ditutup-tutupi semakin berhasrat untuk membuka, semakin ditekan semakin melawan. Terus....setelah tau....ya sudah...cuman itu aja sih...

Sebagai seorang anak kecil, saya memang gak terlalu ngerti dengan definisi kata terbaik itu. Yang saya tahu adalah saya dilarang untuk melakukan ini, pergi ke situ, liat ini, makan itu, pulang jam segini. Dan saya tidak suka untuk dibatasi kebebasan saya. Saya seorang anak kecil yang tau apa yang paling baik buat saya. Kalo orang tua saya menentukan yang terbaik buat saya, sebenarnya itu berarti terbaik untuk mereka. Saya anak kecil dan juga seorang manusia yang punya pikiran, perasaan, kehendak, kemauan, dan keinginan. Dan seringkali bapak-ibu saya lupa hal itu, dalam pemikiran mereka, saya masih tetap seperti dulu, seperti waktu dalam gendongan mereka.

FAKTA DAN KATA-KATA
Sudah menjadi suatu hukum bahwa berkata-kata lebih mudah daripada bertindak. Gampang sekali untuk mengkritik perbuatan orang, namun belum tentu si pengkritik dapat melakukan yang lebih baik.

Seorang Pendeta selalu (memang itulah inti kekristenan) berbicara mengenai kasih. Kasihilah sesamamu manusa seperti mengasihi dirimu sendiri, Jika pipi kirimu ditampar, maka berikan pipi kananmu. Ampunilah musuhmu sebanyak 70x7 kali, Jika orang meminta bajumu, berikan pula jubahmu, bila meminta ditemani berjalan, temainlah sampe rumahnya.

Anak pendeta ini tiap minggu mendengarkan bapaknya berbicara seperti itu. Minimal 48 kali dalam setahun dia mendengarkan kata-kata tersebut. Kata – kata yang didengarnya selalu bernada positif, sehingga pada awalnya, si anak menganggap bahwa bapaknya adalah orang yang sempurna, luar biasa, penuh kasih, panjang sabar, dan pemaaf. Namun...apa kata dunia....

Seiring dengan berjalannya waktu, si anak mengerti banyak hal....dunia yang dia tinggali penuh dengan kejahatan, ada yang berantem, ada yang mengompas, ada yang nyontek, ada yang kejam, dan juga ada yang “berpacaran”. Si anak juga melihat bapaknya yang pendeta marah-marah dengan dia, dengan ibunya, dengan tetangganya, dengan temannya, dan dengan sodara-sodaranya. Mulailah timbul pertanyaan atas semua konsep yang diterimanya. Mulailah dia melihat perbedaan fakta dan kata-kata. Kata-kata dari orangtuanya dengan fakta di hidupnya. Saat inilah yang akan menjadi titik balik kehidupan si anak pendeta tersebut. Dan pak pendeta menjadi pemicunya....

Si anak akan bertanya mengenai semua hal yang dilarang oleh bapaknya, artinya si anak dalam fase kebingungan. Dia bingung karena ajaran bapaknya dengan kenyataan di lapangan bertolak belakang. Dia hanya ingin mencari jawaban dan penegasan, cuman itu saja. Teeeetaaaapi.....
Bagi Pak Pendeta hal ini berarti lain, pertanyaan ini adalah pertanyaan mengenai kredibilitasnya, mengenai harga dirinya, mengapa kata-katanya tidak dipercaya, mengapa sudah dilarang kok tetep dilakukan. (padahal sebenarnya nggak begitu kan)

SEBUAH PELAJARAN
Tidak mudah untuk mendidik seorang anak, tetapi kita harus belajar. Mudah untuk berkomunikasi, tetapi kita tidak melakukannya. Kehormatan, harga diri dan kebanggaan penting dalam kehidupan, tetapi tidak semahal harga anak kita.

Kita bertambah dewasa karena keberhasilan dan kegagalan kita. Namun, 95% kegagalan saya itulah yang menjadikan saya seperti saat ini. Kita belajar dari keberhasilan kita, namun kita lebih banyak belajar dari kesalahan kita.

Share this content